Minggu, 08 Mei 2016

Akhlak Tasyawuf

Akhlak Tasyawuf


“AL-JILLI DAN AJARAN TASAWUFNYA”
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf”








Dosen pembimbing :
Drs. H. Ali Mas’us, M. Ag
Oleh

                                                           M. Hafit Purwanto          D31209020


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IAIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik .
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu demi selesainya makalah kami .Adapun segala kesalahan dan kekurangan kami mengharap koreksi sepenuhnya baik dari dosen pembimbing maupun rekan mahasiswa sekalian .
Akhirnya dengan segala kelemahan dan kekurangan makalah ini semoga bermanfaat bagi para pembaca secara umum serta bagi kami penyusun khususnya.



Surabaya, 04 Mei 2010


Penyusun






Daftar isi
Kata Pengantar ………………………………………..........................................................1
Datar Isi ………………………………………………………….........................................2
BAB I: PENDAHULUAN ……………………………………….......................................3
A.    Latar belakang ………………………………………………………………..3
B.     Rumusan masalah …………………………………………….........................3
C.     Tujuan pembahasan...........................................................................................3
BAB II: PEMBAHASAN ……………………………………….........................................4
1.      Biografi Al-Jilli  …………………………………………………………….4
2.      Ajaran Tasawuf Al-Jilli...................................................................................4
BAB III: PENUTUP
kasimpulan ………………………………………………………………………………...13
Daftar Pustaka ………………………………………..........................................................14










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawwuffalsafi muncul dalam hasanah islam sejak abad ke 6 H dan terus berkembang sampai saat ini dengan melahirkan berbagai tokoh. Salah satu tokohnya adalah Al-Jilli (Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli). Ia adalah seorang sufi dari Baghdad yang terkenal dengan ajaran tasawwuf falsafinya mengenai paham insan kamil (manusia sempurna).
Ia berpendapat bahwa insan kamil adalah nuskho atau copy Tuhan. Pernyataan itulah yang menjadi latar belakang penyusunan makalah ini. Apakah maksud dari ajaran al-jilli mengenai pendapatnya tersebut?, benarkah bahwasannya insan kamil merupakan copy ilahi?. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi singkat Al-Jilli?
2.      Apa ajaran tasawwuf falsafi Al-Jilli?

C.     Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui biografi singkat Al-Jilli dan ajaran tasawwufnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Al-Jili
            Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili.Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan (Gilan), sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah pimpinan Abdul Qadir Al- Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal . Disamping itu ,ia berguru pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

B.     Ajaran Tasawuf Al-Jili
            Ajaran tasawuf Al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili,insan kamil adalah nuskhah  atau copy Tuhan, seperti yang disebutkab dalam hadis berikut:
خَلَقَ اَللهُ اَدَمَ عَلَي صُوْرَةٌ الرَحَمَنِ
Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.
Hadits lain adalah,
خَلَقَ اَللهُ اَدَمَ عَلَي صُوْرَتِهِ
Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diriNya”.
            Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup,pandai, mampu berkahendak, dan mendengar. Manusia (Adam)pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah Adam, aniyah Tuhan disandingkan dengan aniyah Adam, dan zat-Nya dihadapkan pada zat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini ,kita memahami bahwa Adam, dilihat dari sisi penciptaannya ,merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah.
            Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya sebab sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan insan kamil.
            Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali dengan menggunakan cermin itu.
            Demikian pula,halnya dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya ,kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak melihat dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. I nilah maksud ayat berikut ini.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ   
Artinya: Sesungguhnya Kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh ( Al Ahzab: 72)
Lebih lanjut , Al- Jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal (kesempurnaan) adalah sama semua dimiliki olen manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk manusia yang berada dalam kandungan ibunya. Al- Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil), seperti yang terdapat dalam para wali dan para nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas al- kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. Sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad, bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-akmal (yang paling sempurna ) atau al-fadil (yang utama) dan yang afdhal (yang paling utama).  
Insan Kamil, menurut konsep Al-Jilli adalah perencanaan dzat Allah (nuktah al-haqqah) melalui proses empat tajalli seperti tersebut diatas, sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul AL-Hallaj dan konsep Ittidad Ibn ‘Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi subagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn ‘Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yang diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
Dengan demikian, dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat dirinya . Ia tidak mungkin melihat dirinya tanpa cermin itu. Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya agar sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan insan kamil sebaga cermin bagi diri-Nya. Dari sini, tampak hubungan antara  Tuhan dan insan kamil.
Insan kamil bagi Al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu, insan kamil dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. Ia diberi nama dengan nama yang tidak diberikan kepada orang lain. Nama aslinya Muhammad ,nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya Snyamsu Ad-Din,
Dari uraain diatas , Al- Jili menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada nabi Muhammad SAW.sebagai insan kamil yang paling sempurna. Sungguhpun beliau telah wafat ,nurnya akan tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Ketika nur Muhammad itu mengambil bentuk menampakkan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai bentuk itu.
Untuk memenuhi hal ini, Al-Jilli mengungkapkan pengalamannya sendiri sebagai berikut, “suatu ketika aku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam entuk syehku, yaitu Syaraf Ad-Din Ismail Al- Jabarti. Aku tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan yang aku ketahui bahwa dia adalah syehku. Inilah satu penglihatan yang aku dapati di Zabid pada Tahun 797,”
Maka yang tergandung dari peristiwa diatas bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan mengambil bentuk dalam bentuk aslinya sebagaiman saat hidupnya,beliau dipanggil dengan nama Muhammad.Akan tetapi bila beliau muncul dalam bentuk lain dan diketahui bahwa ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan nama bentuk  itu.Nama yang dimaksud dalam konteks kedua ini adalah hakikat Muhammad.
Peristiwa lain yang dapat memperjelas makna diatas adalah bahwa suatu ketika Nabi Muhammad muncul dalam bentuk stibli yang berkata pada muridnya, “bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah.” Secara kebetulan, nurid tersebut memliki ilmu kasyaf sehingga dengan mudah dapat mengenalinya sebagai Nabi, lalu ia menjawab, “saya bersaksi bahwa engkau utusan Allah”.
Bagaiman halnya dengan pertemuan lewat mimpi? Apakah ada perbedaan antara keduanya, yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertamuan mistik, yakni pendekatan tasawwuf.
Menurut Al-Jilli, ada perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik, yaitu bahwa dalam mimpi, Muhammad masuk dalam diri seseorang yang sedang tidur. Hal ini tentu akan membuatnya sadar akan hakikat Muhammad sehingga ia tidak dapat memperolehnya dan ketika orang itu bangun (sadar), lalu ia menafsirkan hakikat Muhammad itu sebagai hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan mistik langsung maka setelah melihatnya dalam diri, ia tidak boleh bertingkahlaku dihadapannya sebagaimana tingkah laku sebelumnya.
Demikian yang dimaksud dalam pertanyaan bahwa hati dapat menyerupai bentuk apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini, sunnah berlaku bahwa nabi akan mengandalkan bentuk mereka dan hampir mencapai derajat kesempurnaan. Hal ini maksudnya adalah menempatkan Muhammad pada derajat yang tinggi diantara mereka dan dapat meluruskan kekeliruan mereka. Ini artinya bahwa dari luar mereka yang hampir sempurna tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad sebagai esensi hakikat mereka.
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau dalam istilah arab disebut maqamat.
Sebagai seorang sufi, al-jilli dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut al-martabah atau jenjang atau tingkat. Tingkat-tingkat itu adalah:
1.      Islam
2.      Iman
3.      Shalah
4.      Ihsan
5.      Syahadah
6.      Shiddiqiyah
7.      Qurbah.

Pertama, islam. Arti kata islam baik secara etimologi maupun secara terminologi syar’i, mengacu kepada makna penyerahan yang total dan sempurna secara suka rela kepada Allah, yang telah membawa iman yang berada didalam lubuk hati kepada amal praktis dengan anggota badannya. Menerjemahkan keyakinan yang tersembunyi dalam hati kepada ketaatan yang nampak dalam kehidupan nyata. Dan  yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pembahasan kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jilli, merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim  memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jianya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan, maka terisilah jiwa oleh sifat-sifat ketuhanan.
            Kedua, iman. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tenaga pertama untuk mengungkap tabir dalam ghaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh diluar jangkauan akal sebab sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa kepada keimanan.
            Rasa iman kepada Allah juga mencakup dua hal secara bersamaan. Pertama, yang sifanya nalar teoritis, kedua, yang sifatnya roh kejiwaan: “aku beriman kepada Allah, : maka itu artinya anda mengetahuinya. Dan pengetahuan anda tentangnya tidak sedikitpun diwarnai karaguan atau syak. Bahkan hati dipenuhi dengan keyakinan akan wujud yang maha tinggi itu.
            Demikianlah adanya hakikat iman, antara satu jiwa dengan jiwa lainnya berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan perbedaan luas satu sempitnya pengetahuan yang dimiliki masing-masing. Sesuai dengan perbedaan kedalaman atau kedangkalan keyakinan yang dimiliki masing-masing. 
            Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini, seorang sufi yang mencapai tingkat ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai kasyaf, ia akan manaati syari’at Tuhandengan baik.
            Keempat, ihsan. Ketika iman dimiliki dengan benar dan islam dilaksanakan dengan sempurna, datanglah ihsan sebagai konsekuensi logis dari keduanya. Allah berfirman “ Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shaleh tentunya kami tidak akan menyianyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalannya dengan baik.
            Sebagaimana telah diketahui bahwa iman adalah pengetahuan yang benar tentang Allah dan kepercayaan yang mendalam kepadaNya. Sedangkan islam adalah penerimaan serta ketundukan sepenuhnya terhadap ajaran-ajaranNya serta ibadah yang tulus untuk memperoleh ridhoNya. Jika unsur-unsur ini telah terpenuhi sehingga menimbulkan rasa yakin yang mendalam dan membuahkan amal-amal shaleh yang matang, ketika itu seseorang layak mendapat predikat muhsin. Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi akan mencapai tingkat menyampaikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwidh, rida dan ikhlas
            Kelima, syahadah. Seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan, yaitu mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya scara terus menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan tingkat paling rendah, yang menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara ‘ainul yaqin, yang merupakan tingkat paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat, yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Ketika tingkat makrifat itu dialami oleh seorang sufi secara bertahap. Jadi , menurut Al-Jilli ,seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hak yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dirinya. Setelah mengalami fana’,ia memperoleh baqa ilahi. Jika telah baqa dengan Tuhan, selanjutnya diikuti dengan menampakkan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin.
Selanjutnya, ketika penamakan sifat-sifat terjadi ,akann diperoleh makrifat zat dari segi sifat. Hal tersebut berlangsung terus sampai mencapai makrifat zat dengan zat. Akan tetapi, karena tidak merasa puas dengan makrifat zat dengan zat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiyah  sehingga akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh, Qurbah . Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah maqam-maqam yang disebutkan Al-Jilli dalam upaya mendekati Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jilli mengatakan, “Mengetahui zat yang Mahatinggi secara kasyaf  ilahi , kamu dihadapan-Nya dan Dia dihadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab, hamba adalah hamba. Tuhan adalah Tuhan .Oleh karena itu ,tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan , ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
Menjadi manusia sempurna (insan kamil) adalah jargon sekaligus cita-cita setiap umat islam. Karenanya, tiap-tiap muslim harus memiliki kualifikasi yang memadai untuk merealisasikan cita-cita tersebut dengan mambuat keterikatannya dengan Allah agar kekal dalam rahmadnya. Jiwa mereka harus disucikan dan ditingkatkan kualitasnya dengan cara melatih serta membiasakannya mengikuti aturan, ketentuan, dan etika yang ditetapkan Allah. Kesempurnaan bagi seorang muslim sebetulnya tidak ada batas akhirnya. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula ia dibebani perintah dan larangan. Mereka dituntut selalu memperhatikan jiwanya, agar noda kejelekan yang masih tersisa dapat dibersihkan. Keburukan yang tumbuh kembali dapat segera dihapuskan.
Menjadi insan kamil merupakan ungkapan yang indah tentang usaha seorang muslim dalam menyucikan dirinya dan menggapai ridho Tuhan. Suatu upaya dalam meninggalkan sikap dan tempat-tempat yang membuatnya lalai dan berpangku tangan, menuju sikap dan tempat-tempat yang membuatnya selalu ingat dan berinadah. Tahapan-tahapn jalan menuju Allah dapat dilalui dengan sukses jika seorang muslim mampu mengenyahkan segala macam kekejian dan perilaku yang sia-sia. Ia menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan perilaku yang selalu mengutamakan kesungguhan.
Manjadi insan kamil merupakan perjalanan jiwa. Tujuannya Allah. Bekalnya adalah akhlak mulia dan amal shaleh. Dengan bekal ini seorang muslim berharap mendapat petunjuk Tuhan yang selalu membimbingnya. Tuhan meluruskan jalan dan memberkati apa yang diperoleh, meski sedikit jumlahnya itu karena Allah telah menjanjikan orang-orang yang telah menghadap kepadaNya dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Naml ayat: 89
`tB uä!%y` ÏpoY|¡ysø9$$Î/ ¼ã&s#sù ׎öyz $pk÷]ÏiB Nèdur `ÏiB 8ítsù >Í´tBöqtƒ tbqãZÏB#uä ÇÑÒÈ
Artinya: Barang siapa yang membawa kebaikan, Maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik dari padanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang dahsyat pada hari itu.


















BAB III
PANUTUP

Kasimpulan
Al-jilli nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili.Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan (Gilan), sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
Ajaran tasawuf Al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili,insan kamil adalah nuskhah  atau copy Tuhan.
Sebagai seorang sufi, al-jilli dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut al-martabah atau jenjang atau tingkat. Tingkat-tingkat itu adalah:
1.      Islam
2.      Iman
3.      Shalah
4.      Ihsan
5.      Syahadah
6.      Shiddiqiyah
7.      Qurbah.