Akhlak Tasyawuf
Akhlak Tasyawuf
“AL-JILLI
DAN AJARAN TASAWUFNYA”
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
“Akhlak Tasawuf”
Dosen pembimbing :
Drs.
H. Ali Mas’us, M. Ag
Oleh
M. Hafit Purwanto D31209020
FAKULTAS
TARBIYAH
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IAIN
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik .
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang ikut membantu demi selesainya makalah kami .Adapun segala kesalahan
dan kekurangan kami mengharap koreksi sepenuhnya baik dari dosen pembimbing
maupun rekan mahasiswa sekalian .
Akhirnya dengan segala kelemahan dan kekurangan
makalah ini semoga bermanfaat bagi para pembaca secara umum serta bagi kami
penyusun khususnya.
Surabaya, 04 Mei 2010
Penyusun
Daftar isi
Kata Pengantar ………………………………………..........................................................1
Datar
Isi ………………………………………………………….........................................2
BAB I:
PENDAHULUAN ……………………………………….......................................3
A. Latar
belakang ………………………………………………………………..3
B. Rumusan
masalah …………………………………………….........................3
C. Tujuan
pembahasan...........................................................................................3
1. Biografi
Al-Jilli …………………………………………………………….4
2. Ajaran
Tasawuf Al-Jilli...................................................................................4
kasimpulan
………………………………………………………………………………...13
Daftar Pustaka ………………………………………..........................................................14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tasawwuffalsafi muncul dalam hasanah islam sejak abad ke 6 H dan terus berkembang
sampai saat ini dengan melahirkan berbagai tokoh. Salah satu tokohnya adalah
Al-Jilli (Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli). Ia adalah seorang sufi dari
Baghdad yang terkenal dengan ajaran tasawwuf falsafinya mengenai paham insan
kamil (manusia sempurna).
Ia
berpendapat bahwa insan kamil adalah nuskho atau copy Tuhan. Pernyataan itulah
yang menjadi latar belakang penyusunan makalah ini. Apakah maksud dari ajaran
al-jilli mengenai pendapatnya tersebut?, benarkah bahwasannya insan kamil
merupakan copy ilahi?. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam makalah
ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi singkat Al-Jilli?
2. Apa
ajaran tasawwuf falsafi Al-Jilli?
C. Tujuan
Pembahasan
Untuk mengetahui
biografi singkat Al-Jilli dan ajaran tasawwufnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Al-Jili
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim
bin Ibrahim Al-Jili.Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan (Gilan), sebuah provinsi
disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-Jili diambil dari
tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari
Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi
sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada
tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf dibawah pimpinan Abdul Qadir Al-
Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal .
Disamping itu ,ia berguru pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti
di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.
B. Ajaran
Tasawuf Al-Jili
Ajaran tasawuf Al-jili yang
terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili,insan
kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan,
seperti yang disebutkab dalam hadis berikut:
خَلَقَ
اَللهُ اَدَمَ عَلَي صُوْرَةٌ الرَحَمَنِ
Artinya: “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.
Hadits lain
adalah,
خَلَقَ
اَللهُ اَدَمَ عَلَي صُوْرَتِهِ
Artinya: “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diriNya”.
Sebagaimana diketahui, Tuhan
memiliki sifat-sifat seperti hidup,pandai, mampu berkahendak, dan mendengar.
Manusia (Adam)pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah
ini adalah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah
Adam, aniyah Tuhan disandingkan dengan aniyah Adam, dan zat-Nya dihadapkan pada
zat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.
Melalui konsep ini ,kita memahami bahwa Adam, dilihat dari sisi penciptaannya
,merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya sebab pada
dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah.
Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama
dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dengan esensinya sebab sifat dan nama-nama
tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan insan kamil.
Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan
bahwa perumpaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang
seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali dengan menggunakan
cermin itu.
Demikian pula,halnya dengan insan
kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya ,kecuali dengan cermin nama Tuhan,
sebagaimana Tuhan tidak melihat dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. I
nilah maksud ayat berikut ini.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# (
¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh ( Al Ahzab: 72)
Lebih
lanjut , Al- Jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal (kesempurnaan) adalah sama
semua dimiliki olen manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi,
termasuk manusia yang berada dalam kandungan ibunya. Al- Kamal dalam konsep
Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan
mungkin pula secara aktual (bi al-fiil), seperti yang terdapat dalam para wali
dan para nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas al- kalam yang
paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. Sehingga manusia lain,
baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad, bagaikan
al-kamil (yang sempurna) dengan al-akmal (yang paling sempurna ) atau al-fadil
(yang utama) dan yang afdhal (yang paling utama).
Insan
Kamil, menurut konsep Al-Jilli adalah perencanaan dzat Allah (nuktah al-haqqah)
melalui proses empat tajalli seperti tersebut diatas, sekaligus sebagai proses
maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad SAW.
Menurut
Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul AL-Hallaj dan
konsep Ittidad Ibn ‘Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu
pribadi subagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn ‘Arabi mentransfer
konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil
sebagai wali-wali Allah, yang diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
Dengan
demikian, dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk
melihat dirinya . Ia tidak mungkin melihat dirinya tanpa cermin itu.
Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya agar sifat-sifat dan
nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan insan kamil sebaga cermin bagi
diri-Nya. Dari sini, tampak hubungan antara
Tuhan dan insan kamil.
Insan
kamil bagi Al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflak
al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan untuk
selamanya. Di samping itu, insan kamil dapat muncul dan menampakkan dirinya
dalam berbagai macam. Ia diberi nama dengan nama yang tidak diberikan kepada
orang lain. Nama aslinya Muhammad ,nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan
gelarnya Snyamsu Ad-Din,
Dari
uraain diatas , Al- Jili menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi
kepada nabi Muhammad SAW.sebagai insan kamil yang paling sempurna. Sungguhpun
beliau telah wafat ,nurnya akan tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri
orang-orang yang masih hidup. Ketika nur Muhammad itu mengambil bentuk
menampakkan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai bentuk
itu.
Untuk
memenuhi hal ini, Al-Jilli mengungkapkan pengalamannya sendiri sebagai berikut,
“suatu ketika aku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam entuk syehku, yaitu Syaraf
Ad-Din Ismail Al- Jabarti. Aku tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan
yang aku ketahui bahwa dia adalah syehku. Inilah satu penglihatan yang aku
dapati di Zabid pada Tahun 797,”
Maka
yang tergandung dari peristiwa diatas bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan
mengambil bentuk dalam bentuk aslinya sebagaiman saat hidupnya,beliau dipanggil
dengan nama Muhammad.Akan tetapi bila beliau muncul dalam bentuk lain dan
diketahui bahwa ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan nama yang sesuai dengan
nama bentuk itu.Nama yang dimaksud dalam
konteks kedua ini adalah hakikat Muhammad.
Peristiwa
lain yang dapat memperjelas makna diatas adalah bahwa suatu ketika Nabi
Muhammad muncul dalam bentuk stibli yang berkata pada muridnya, “bersaksilah
bahwa aku adalah utusan Allah.” Secara kebetulan, nurid tersebut memliki ilmu
kasyaf sehingga dengan mudah dapat mengenalinya sebagai Nabi, lalu ia menjawab,
“saya bersaksi bahwa engkau utusan Allah”.
Bagaiman
halnya dengan pertemuan lewat mimpi? Apakah ada perbedaan antara keduanya,
yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertamuan mistik, yakni pendekatan
tasawwuf.
Menurut
Al-Jilli, ada perbedaan antara mimpi dan pertemuan mistik, yaitu bahwa dalam
mimpi, Muhammad masuk dalam diri seseorang yang sedang tidur. Hal ini tentu
akan membuatnya sadar akan hakikat Muhammad sehingga ia tidak dapat
memperolehnya dan ketika orang itu bangun (sadar), lalu ia menafsirkan hakikat
Muhammad itu sebagai hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja. Sebaliknya,
dalam pertemuan mistik langsung maka setelah melihatnya dalam diri, ia tidak boleh
bertingkahlaku dihadapannya sebagaimana tingkah laku sebelumnya.
Demikian
yang dimaksud dalam pertanyaan bahwa hati dapat menyerupai bentuk apa saja yang
dikehendaki. Dalam hal ini, sunnah berlaku bahwa nabi akan mengandalkan bentuk
mereka dan hampir mencapai derajat kesempurnaan. Hal ini maksudnya adalah
menempatkan Muhammad pada derajat yang tinggi diantara mereka dan dapat
meluruskan kekeliruan mereka. Ini artinya bahwa dari luar mereka yang hampir
sempurna tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad sebagai
esensi hakikat mereka.
Untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang berupa
stasiun-stasiun atau dalam istilah arab disebut maqamat.
Sebagai
seorang sufi, al-jilli dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan
beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya
disebut al-martabah atau jenjang atau tingkat. Tingkat-tingkat itu
adalah:
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4. Ihsan
5. Syahadah
6. Shiddiqiyah
7. Qurbah.
Pertama, islam. Arti
kata islam baik secara etimologi maupun secara terminologi syar’i, mengacu
kepada makna penyerahan yang total dan sempurna secara suka rela kepada Allah,
yang telah membawa iman yang berada didalam lubuk hati kepada amal praktis
dengan anggota badannya. Menerjemahkan keyakinan yang tersembunyi dalam hati
kepada ketaatan yang nampak dalam kehidupan nyata. Dan yang didasarkan pada lima pokok atau rukun
dalam pembahasan kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi
harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jilli,
merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan
cara mengosongkan jianya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan, maka terisilah
jiwa oleh sifat-sifat ketuhanan.
Kedua, iman. Yakni
membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan
dasar-dasar islam. Iman merupakan tenaga pertama untuk mengungkap tabir dalam
ghaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang
lebih tinggi. Iman menunjukkan sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh
diluar jangkauan akal sebab sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa
kepada keimanan.
Rasa
iman kepada Allah juga mencakup dua hal secara bersamaan. Pertama, yang sifanya
nalar teoritis, kedua, yang sifatnya roh kejiwaan: “aku beriman kepada Allah, :
maka itu artinya anda mengetahuinya. Dan pengetahuan anda tentangnya tidak
sedikitpun diwarnai karaguan atau syak. Bahkan hati dipenuhi dengan keyakinan
akan wujud yang maha tinggi itu.
Demikianlah adanya hakikat iman,
antara satu jiwa dengan jiwa lainnya berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan
perbedaan luas satu sempitnya pengetahuan yang dimiliki masing-masing. Sesuai
dengan perbedaan kedalaman atau kedangkalan keyakinan yang dimiliki masing-masing.
Ketiga, ash-shalah, yakni
dengan maqam ini, seorang sufi yang mencapai tingkat ibadah yang terus
menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’.
Tujuan ibadah pada maqam ini adalah mencapai kasyaf, ia akan
manaati syari’at Tuhandengan baik.
Keempat, ihsan. Ketika iman
dimiliki dengan benar dan islam dilaksanakan dengan sempurna, datanglah ihsan
sebagai konsekuensi logis dari keduanya. Allah berfirman “ Sesungguhnya mereka
yang beriman dan beramal shaleh tentunya kami tidak akan menyianyiakan pahala
orang-orang yang mengerjakan amalannya dengan baik.
Sebagaimana
telah diketahui bahwa iman adalah pengetahuan yang benar tentang Allah dan
kepercayaan yang mendalam kepadaNya. Sedangkan islam adalah penerimaan serta
ketundukan sepenuhnya terhadap ajaran-ajaranNya serta ibadah yang tulus untuk
memperoleh ridhoNya. Jika unsur-unsur ini telah terpenuhi sehingga menimbulkan
rasa yakin yang mendalam dan membuahkan amal-amal shaleh yang matang, ketika
itu seseorang layak mendapat predikat muhsin. Maqam ini
menunjukkan bahwa seorang sufi akan mencapai tingkat menyampaikan efek (atsar)
nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di
hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap
istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwidh, rida dan
ikhlas
Kelima, syahadah. Seorang
sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan, yaitu
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya scara terus menerus, dan
meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi dalam dua
tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, yang merupakan
tingkat paling rendah, yang menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara ‘ainul
yaqin, yang merupakan tingkat paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah. Istilah
ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat, yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Ketika
tingkat makrifat itu dialami oleh seorang sufi secara bertahap. Jadi , menurut
Al-Jilli ,seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan
hal-hak yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui
hakikat dirinya. Setelah mengalami fana’,ia memperoleh baqa ilahi.
Jika telah baqa dengan Tuhan, selanjutnya diikuti dengan menampakkan
nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin.
Selanjutnya, ketika penamakan
sifat-sifat terjadi ,akann diperoleh makrifat zat dari segi sifat. Hal tersebut
berlangsung terus sampai mencapai makrifat zat dengan zat. Akan tetapi, karena
tidak merasa puas dengan makrifat zat dengan zat, ia mencoba melepaskan
sifat-sifat Rububiyah sehingga
akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah
yang dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh, Qurbah
. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat
menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah maqam-maqam yang
disebutkan Al-Jilli dalam upaya mendekati Tuhan. Namun, satu hal yang kita
ketahui bahwa Al-Jilli mengatakan, “Mengetahui zat yang Mahatinggi secara kasyaf
ilahi , kamu dihadapan-Nya
dan Dia dihadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab, hamba adalah
hamba. Tuhan adalah Tuhan .Oleh karena itu ,tidaklah mungkin hamba menjadi
Tuhan atau sebaliknya.Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa sungguhpun
manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan , ia tetap tidak bisa
menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
Menjadi manusia sempurna (insan kamil)
adalah jargon sekaligus cita-cita setiap umat islam. Karenanya, tiap-tiap
muslim harus memiliki kualifikasi yang memadai untuk merealisasikan cita-cita
tersebut dengan mambuat keterikatannya dengan Allah agar kekal dalam rahmadnya.
Jiwa mereka harus disucikan dan ditingkatkan kualitasnya dengan cara melatih
serta membiasakannya mengikuti aturan, ketentuan, dan etika yang ditetapkan
Allah. Kesempurnaan bagi seorang muslim sebetulnya tidak ada batas akhirnya.
Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula ia dibebani perintah
dan larangan. Mereka dituntut selalu memperhatikan jiwanya, agar noda kejelekan
yang masih tersisa dapat dibersihkan. Keburukan yang tumbuh kembali dapat
segera dihapuskan.
Menjadi insan kamil merupakan
ungkapan yang indah tentang usaha seorang muslim dalam menyucikan dirinya dan
menggapai ridho Tuhan. Suatu upaya dalam meninggalkan sikap dan tempat-tempat
yang membuatnya lalai dan berpangku tangan, menuju sikap dan tempat-tempat yang
membuatnya selalu ingat dan berinadah. Tahapan-tahapn jalan menuju Allah dapat
dilalui dengan sukses jika seorang muslim mampu mengenyahkan segala macam
kekejian dan perilaku yang sia-sia. Ia menghiasi dirinya dengan akhlak yang
mulia dan perilaku yang selalu mengutamakan kesungguhan.
Manjadi insan kamil merupakan
perjalanan jiwa. Tujuannya Allah. Bekalnya adalah akhlak mulia dan amal shaleh.
Dengan bekal ini seorang muslim berharap mendapat petunjuk Tuhan yang selalu
membimbingnya. Tuhan meluruskan jalan dan memberkati apa yang diperoleh, meski
sedikit jumlahnya itu karena Allah telah menjanjikan orang-orang yang telah
menghadap kepadaNya dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah
dalam surat An-Naml ayat: 89
`tB uä!%y` ÏpoY|¡ysø9$$Î/ ¼ã&s#sù ×öyz $pk÷]ÏiB Nèdur `ÏiB 8ítsù >Í´tBöqt tbqãZÏB#uä ÇÑÒÈ
Artinya: Barang siapa yang membawa
kebaikan, Maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik dari padanya, sedang
mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang dahsyat
pada hari itu.
BAB
III
PANUTUP
Kasimpulan
Al-jilli nama lengkapnya adalah
‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili.Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan (Gilan),
sebuah provinsi disebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama
Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang
terkenal dari Baghdad.
Ajaran tasawuf Al-jili yang
terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili,insan
kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan.
Sebagai seorang sufi, al-jilli
dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa maqam
yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut al-martabah
atau jenjang atau tingkat. Tingkat-tingkat itu adalah:
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4. Ihsan
5. Syahadah
6. Shiddiqiyah
7. Qurbah.